kruiz.Net

Blog Kumpulan Tugas

ALFARABISME DAN NEOPLATONISME DALAM KAJIAN FILSAFAT

pada November 13, 2012

BAB I

PENDAHULUAN

 A.    Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk sempurna yang diberikan akal dan hati oleh allah swt. oleh sebab itu, manusia sering kali memiliki rasa ingin tahu, rasa penasaran terhadap fenomena-fenomena yang terjadi pada alam sekitarnya. Manusia selalu mencari sebab-sebab dari setiap kejadian yang disaksikannya. Dia tidak pernah menganggap bahwa sesuatu mungkin terwujud dengan sendirinya secara kebetulan saja, tanpa sebab. Oleh karena itu muncullah ilmu filsafat.

Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Kata falsafah merupakan arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana iajuga memiliki jiwa yang independen dan bersifat spiritual.[1]

Dalam faktanya, terjadi aliran-aliran dalam filsafat, meskipun tujuannya sama yaitu mencapai kebenaran yang esa. Sedangkan perbedaan pendapat dan aliran hanya dalam lahir nya saja. Bathinnya, yaitu hakikat yang satu, hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang mendalami ilmunya saja.

Lingkungan mempengaruhi para filosof, misalnya saja Al-farabi beraada dalam lingkungan peradaban islam sehingga pemikiran dalam filsafatnya mengenai keislaman itu sendiri dan juga Plotinus yang kemudian melahirkan faham neoplatonismenya  . Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan menjelaskan hubungan antara lingkungan dengan pemikirannya.

B.     Rumusan Masalah

    1. Bagaimana keadaan lingkungan hidup Al-Farabi sehingga mempengaruhi pola pikir filsafatnya?
    2. Bagaimana keadaan lingkungan hidup Neoplatonisme sehingga mempengaruhi pola pikir filsafatnya?
    3. Bagaimana hubungan antara filsafat Al-Farabi dan filsafat Neoplatonisme?

C.    Tujuan Masalah

    1.  Mengetahui hubungan lingkungan hidup yang mempengaruhi pola fikir Al-farabi.
    2.  Mengetahui hubungan lingkungan hidup yang mempengaruhi pola fikir Neoplatonisme.
    3. Mengetahui keterkaitan antara filsafat Al-Farabi dengan filsafat Neoplatonisme.

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

NEOPLATONISME DAN AL FARABISME DALAM KAJIAN FILSAFAT

 

A. KEHIDUPAN DAN CARA BERFILSAFAT AL FARABI

1. Kehidupan alfarabi

Abu Nasir Muhammad bin al-Farakh al farabi singkat Al-Farabiadalah ilmuwan dan filsuf Islam yang berasal dari Farab, Kazakhstan.  Ia juga dikenal dengan nama lain Abū Nasir al farabi (dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al- Farabi , juga dikenal di dunia barat sebagai Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan Abunasir.  Kemungkinan lain adalah Farabi adalah seorang Syi’ah Imamiyah yang berasal dari Turki.

Ayahnya seorang opsir tentara Turki keturunan Persia, sedangkan ibunya berdarah Turki asli. Sejak dini ia digambarkan memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari. Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmatika dasar. Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara, dan tinggal di Kazakhstan sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun.  [2]

2. Karya-karya

Karya-karya al-farabi di antaranya :

a. Syuruh risalah zaimun al- kabir al- yunani

b. Al- ta’liqot

c. Risalah fima yajibu ma’rifat qobla ta’alumi al- filsafat

d. Kitab Tahshil Al- Sa’adah,dll

 

3. Filsafatnya

Adapun masalah ketuhanan Al-Farabi menggunakan pemikiran Aristoteles dan Neo- Platonisme yakni al- wujud al- awal sebagai sebab pertama segala yang ada, konsep ini tidak bertentangan dengan keesaan dalam ajaran islam. dalam pembuktian adanya tuhan al- farabi mengemukakan dalil wajib al- wujud dan mumkin al- wujud. Menurutnya saegala yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ke-3.

wajib al- wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu, ia adalah yang sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika wujud ini tidak ada maka akan timbul kemustahilan, karena wujud lain untuk adanya tergantung kepadanya inilah yang disebut tuhan.[3]

Sedangkan mumkin al- wujud adalah sesuatu yang sama antara wujud dan tidaknya mumkin adalah wujud tidak akan berubah menjadi wujud aktual tanpa adanya wujud yang menguatkan dan yang menguatkan itu bukan dirinya tapi wajib al wujud, walaupun demikian mustahil terjadi daur dan tasalsul (processus in infinitum) karena rentetan sebab akibat itu akan berakhir pada wajib al- wujud.

Tentang sifat tuhan Al- Farabi sejalan dengan paham mu’tazilah yakni sifat tuhan tidak berbeda dengan subtansi-Nya,orang boleh saja menyebut asma Al-Husna sebanyak yang dia ketahui, tapi nama tersebut tidak menunjukkan adanya bagian-bagian pada dzat tuhan atau sifat-sifat yang berbeda dari dzat-Nya. bagi Al- Farabi, tuhan adalah ‘aql murni ia esa adanya dan yang menjadi obyek pemikiran-Nya hanya subtansi-Nya saja.ia tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk memikirkan subtansi-Nya, jadi tuhan adalah ‘aql, aqil, dan ma’qul.tuhan juga maha tahu, jadi tuhan adalah mengetahui dan subtansi yang diketahui (ilm,’alim,dan ma’lum).[4]

Tentang ilmu tuhan pemikiran Al- Farabi terpengaruh oleh aristoteles dengan mengatakan bahwa tuhan tidak mengetahui dan memikirkan alam, pemikiran ini dikembangkan oleh Al- Farabi dengan mengatakan bahwa tuhan tidak mengetahui byang juziyyah maksudnya pengetahuan Tuhan tentang yang rinci tidak sama dengan pengetahuan manusia, tuhan sebagai aql hanya dapat menangkap yang universal, sedangkan untuk mengetahui yang juz’i hanya dapat di tangkap dengan panca indra, karena itu pengetahuannya tentang juz’i tidak secara langsung, melainkan ia sebagai sebab bagi yang juz’i. Tentang penciptaan alam Al- Farabi mengatakan bahwa tuhan menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran tuhan menciptakan alam semenjak azali engan materi alam berasal dari energi yang qodim sedangkan susunan materi yang menjadi alam baru, karena itu, menurut filsuf kun tuhan yang termaktub dalam al qur’an di tunjukan kepada syai’ bukan kepada la syai’

B. Sejarah Plotinus dan Neoplatonisme

Plotinus dilahirkan pada tahun 205 di Lykopolis di Mesir, Plotinus hidup di abad kedua, kurang lebih empat abad setelah Plato, yang pada waktu itu dikuasai oleh Roma dan meninggal di Minturnea di Italia pada tahun 270. Namanya tersohor dengan ajaran filosofnya, ia tak mau terkemkuka, Ia terkenal dengan kesederhanaan hidupnya.[5]

Mulanya ia  memepelajari filsafat dari ajaran yunani, terutama dari tangan plato. Pada umur 28 tahun kecerdasannya sudah kelihatan sehingga patutut baginya disebut sebagai filosof,  ia mempelajari mistik dari Persia dan India. Pada saat itu kaisar Roma, Gordianus, menyusun rencananya untuk menyerbu ke Persia, dan Plotinus menawarkan diri untuk menjadi serdadu dalam lascar Gordianus, namun pada saat peperangan hanya mendapat kekalahan besar dan Plotinus selamat dengan melarikan diri. Setelah di Persia ia pergi ke Roma,satu tahun ia menetap disana untuk mengajarkan filsafatnya,

Ajaran Pokok Plotinus

Plotinus mulanya tidak bermaksud untuk mengemukakan filsafatnya sendiri, ia hanya ingin memperdalam filsafat plato. Oleh sebab itu filosofinya di sebut pula di sebut  pula dengan neoplatonisme. [6]

Ajaran Plotinus berpokok kepada yang satu. Yang satu itu adalah pangkal segalanya, ia juga mengambil ajaran dari filosofi-filosofi sesudah plato, selama ajran-ajaran itu dapat disesuaikan dengan pandangan agamanya

Filsafat Plotinus yang berpangkal pada keyakinan bahwa segala ini, yang Asal itu, adalah satu dan tidak ada pertentangan didalamnya. Yang satu itu bukan kualitas dan bukan pula yang terutama dari keadaan dan perkembangan dalam dunia. Segalanya datang dari suatu, Yang asal. Yang asal itu adalah sebab kuantita, akal bukan jiwa, bukan suatu yang bergerak bukan pula yang berhenti, bukan dalam raung dan bukan dalam waktu.

Yang satu tidak dapat dikenal, sebab tidak ada ukuran untuk membandingkannya. Orang hanya dapat mengatakan, apa yang tidak serupa dengan dia, tetapi tidak dapat dikatakan apa dia, pada dasarnya yang satu itu tidak  dapat disebut, Karena nama-nama yang satu, yang baik, berlainan dengan nama-nam yang lain, tidak berhubungan dengan yang asal,  yang satu itu adalah permulaan dan sebab yang pertama dari segala yang ada.

Neoplatonisme

Dari berbagai unsur pikiran Hellenik, Neoplatonisme adalah salah satu yang paling berpengaruh dalam sistem falsafah Islam. Neoplatonisme sendiri merupakan falsafah kaum pagans, dan rekonsiliasinya dengan suatu agama wahyu menimbulkan masalah besar. Tapi sebagai ajaran yang berpangkal pada pemikiran Plotinus (205-270 M), sebetulnya Neoplatonisme mengandung unsur yang memberi kesan tentang ajaran Tauhid. Sebab Plotinus yang diperkirakan sebagai orang Mesir hulu yang mengalami Hellenisasi di kota Iskandaria itu mengajarkan konsep tentang “yang Esa” (the One) sebagai prinsip tertinggi atau sumber penyebab (sabab, cause). Lebih dari itu, Plotinus dapat disebut sebagai seorang mistikus, artinya yang terbatas kepada seseorang yang mempercayai dirinya telah mengalami penyatuan dengan Tuhan atau “Kenyataan Mutlak.” [7]

Plato membagi kenyataan kepada yang bersifat “akali” (ideas, intelligibles) dan yang bersifat “inderawi” (sensibles), dengan pengertian bahwa yang akali itulah yang sebenarnya ada (ousia), jadi juga yang abadi dan tak berubah. Termasuk diantara yang akali itu ialah konsep tentang “Yang Baik”, yang berada di atas semuanya dan disebut sebagai berada di luar yang ada (beyond being, epekeina ousias). “Yang Baik” ini kemudian diidentifikasi sebagai “Yang Esa”, yang tak terjangkau dan tak mungkin diketahui.

Selanjutnya, mengenai wujud inderawi, Plato menyebutkannya sebagai hasil kerja suatu “seniman ilahi” (divine artisan, demiurge) yang menggunakan wujud kosmos yang akali sebagai model karyanya.

Dari Aristoteles, unsur terpenting yang diambil Plotinus ialah doktrin tentang Akal (nous) yang lebih tinggi daripada semua jiwa. Aristoteles mengisyaratkan bahwa hanya Akal-lah yang tidak bakal mati (immortal), sedangkan wujud lainnya hanyalah “bentuk” luar, sehingga tidak mungkin mempunyai eksistensi terpisah. Aristoteles juga menerangkan bahwa “dewa tertinggi” (supreme deity) ialah Akal yang selalu merenung dan berpikir tentang dirinya. Kegiatan kognitif Akal itu berbeda dari kegiatan inderawi, karena obyeknya, yaitu wujud akali yang immaterial, adalah identik dengan tindakan Akal untuk menjangkau wujud itu.

Dualisme Plato di atas kemudian diusahakan penyatuannya oleh para penganut Pythagoras (baru), dan dirubahnya menjadi monisme dan berpuncak pada konsep tentang adanya Yang Esa dan serba maha (transenden). Ini melengkapi ajaran kaum Stoic, yang mengajarkan tentang kemahaberadaan (omnipresence) Tuhan dalam alam raya.

Kesemua unsur tersebut digabung dan diserasikan oleh Plotinus, dan menuntunnya kepada ajaran tentang tiga hypostase atau prinsip di atas materi, yaitu Yang Esa atau Yang Baik, Akal atau Intelek, dan Jiwa.[8]

Filsafat dari Plotinus juga kemudian dimasukan ke dalam ajaran-ajaran masehi oleh ST.Augustinus dan Dionusius. Ajaran potinus yang menganggap bahwa ada itu hanya satu dan sejalan ialah bahwa tuhan dan lain-lainnya ialah sama, di sebut Pantheisme.

Akhir masa kuno, naoplatonisme merupakan aliran intelektual yang dominan di hampir seluruh wilayah Hellenistik, sehingga seakan-akan neoplatonisme bersaing dengan pandangan dunia yang berdasarkan agama Kristen. Porphyrius (232-301 M) murid Plotinus menulis suatu karya yang dengan tajam menyerang agama Kristen, sehingga kaisar peljndungan agama Kristen menutup semua sekolah filsafat yunani di Athena. Peristiwa tersebut dianggap sebagai akhir masa yunani purba.

D.    Hubungan Antara Filsafat Al-Farabi Dengan Filsafat Neoplatonisme

 

Pada hakikatnya, perkembangan para filosof dipengaruhi oleh filosof sebelumnya. Proses sejarah tidak bisa dielakkan begitu saja, bahwa pemikiran para filosof islam juga terpengaruh oleh para pemikiran Aristoteles dan lebih tertarik kepada pemikiran platinus. Bahkan, para filosof islam juga berguru kepada para filosof yunani.

Pada umumnya, para filosof  islam hidup dalam lingkungan yang berbeda suasana dengan para filosof yunani lain. Oleh karena itu,  lingkungan berpengaruh terhadap jalan pikiran mereka. Sehingga pada akhirnya islam berhasil membentuk filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agamanya dan keadaan masyarakat islam itu sendiri.

Neoplatonisme mengakui akan keesaan Tuhan, zat pertama yang tunggal dan sebenar-benarnya. Oleh karena itu, dengan filsafat tersebut filosof yunani tidak mempunya pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan islam selama mereka mengakui akan ke-esaan Tuhan meskipun terkadang, filsafat mereka bertentangan satu sama lain.

Neoplatonisme mengandung unsure-unsur kemanusiaan(usaha pemikiran manusia),keagamaan, dan keberhasilan (bukan agama langit). Neoplatonisme dengan unnsur-unsur tersebut datang dan bersatu dengan kaum Muslimin melalui aliran Masehi,karena filsafat Al-farabi dan Neoplatonisme itu sama yaitu berfilsafat Tuhan itu yang Maha Tertinggi dan Esa.[9]

 

PENUTUP

  1. KESIMPULAN

Al-Farabi lahir di Turkistan. Ia menguasai banyak kecakapan dalam berbahasa Iran,Turkestan dan  Kurdistan. Ia digelari sebagai Al-Muallimuts-tsani(guru kedua) dalam ilmu filsafat sesudah Aristoteles. Filsafatnya sama dengan Neo-platonisme bahwa Tuhan itu dzat tertinggi dan Esa.

Plotinus  mempeljari filsafat dari ajaran yunani,terutama dari tangan plato. Plotinus banyak mempelajari ilmu mistik dari Persia india, Sejarahnya Plotinus dahulu hidup pada zaman peperangan. Mengenai ajaran pokok dari Plotinus ialah mengenai tentang ketuhanan, Plotinus berpendapat bahwa yang satu itu adalah segalanya, filsafatnya berpangkal pada keyakinan bahwa segala ini, yang asal ini adalah satu dan tidak ada pertentangan di dalamnya.

 

Daftar Pustaka

 

Madkour, Ibrahim.1995. teori filsafat islam. Bumi Aksara: Yogyakarta

Syadali, Ahmad. 2004. Filsafat umum. CV Pustaka Setia: Bandung

Mustofa, Ahmad. 2004. Filsafat islam. CV Pustaka Setia: Bandung

Rakhmat, Jalaludin. 2003. filsafat politik islam. Mizan: Bandung

Hakim, Abdul, dkk. 2008. Filsafat umum. Pustaka Setia: Bandung

Fakhri, Majid. 2002. Sejarah filsafat sebuah peta kronologis. Mizan: Bandung

Leaman, Oliver. 2002. Pengantar filsafat islamsebuah pendekatan tematis. Mizan: Bandung


[1] Mustofa, Ahmad; Filsafat islam, (  CV Pustaka Setia Bandung, 2004) h.13

[2] Syadali, Ahmad, Filsafat umu, (CV Pustaka Setia: Bandung 2004.)  h 161

[3] Fakhri, Majid; Sejarah filsafat sebuah peta kronologis,( Mizan: Bandung 2002.) h. 134

[4] Leaman, Oliver; Pengantar filsafat islamsebuah pendekatan tematis, (Mizan: Bandung 2002) h.144

[5] Rakhmat, Jalaludin; filsafat politik islam, (Mizan: Bandung 2003.) h.85

[6] Hakim, Abdul, dkk; Filsafat umum , (Pustaka Setia: Bandung 2008).h.126

[7] Rakhmat, Jalaludin; filsafat politik islam, (Mizan: Bandung 2003.) h.95

[8] Madkour, Ibrahim; teori filsafat islam , (Bumi Aksara: Yogyakarta 1995.)  h. 97

[9] Syadali, Ahmad, Filsafat umu, (CV Pustaka Setia: Bandung 2004.)  h 151


Tinggalkan komentar